Kamis, 28 Mei 2015

Hukuman Mati Menurut Pandangan Islam


Akhir-akhir ini kita dihebohkan dengan rencana eksekusi mati dua orang pemimpin kasus Bali Nine yaitu Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Eksekusi mati ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pembahasan pro dan kontra terkait hukuman mati sejatinya telah menjadi pembahasan lama yang tak kunjung usai. Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana jika hukuman mati ini diimplementasikan sebagai hukuman bagi pengedar narkoba, lebih menarik lagi adalah bagaimanakah Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin menyikapinya.
Seseorang yang mengedarkan narkoba akan cenderung mengulangi perbuatannya setelah ia dibebaskan dari penjara. Seperti dilansir pada koran Republika tanggal 27 November 2012, BNN menyebutkan bahwa kasus Hillary K Chimezie, seorang pengedar narkoba asal Nigeria, telah menjadi bukti nyata dari tidak adanya efek jera atas hukuman penjara. Hillary tertangkap mengedarkan narkoba di Indonesia pada tahun 2000 kemudian didakwa hukuman mati oleh pengadilan. Pada tahun 2011, berkat grasi dari presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Hillary mendapatkan pembebasan atas vonis hukuman mati menjadi 12 tahun penjara. Di tahun berikutnya, Hillary kembali tertangkap mengedarkan narkoba di Indonesia untuk kedua kalinya. Berkaca pada kasus tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa pelaku belumlah jera setelah ia dimasukkan ke dalam penjara.
Sudah sepatutnya seseorang belajar dari pengalaman yang telah ada. Jika pada kasus Hillary yang telah di sebutkan di atas hukuman penjara tidak memberikan efek jera bahkan memperluas jaringan narkoba hingga ke dalam sel penjara, hukuman apakah yang kiranya tepat bagi perusak moral bangsa ini? Hingga titik ini, muncul usulan hukuman mati bagi para pengedar narkoba.
Jika kita lihat dari negara-negara lain yang telah menerapkan hukuman mati bagi para pengedar narkoba, akan kita dapatkan data tingkat penggunaan narkoba mereka sangatlah rendah. Contohnya adalah negara Arab Saudi yang terkenal dengan hukuman pancung bagi pengedar narkoba. Menurut data dari World Drugs Report 2006, penggunaan senyawa opioids (jenis narkoba) di Arab Saudi hanya berjumlah 0.01% dari total penduduk negara tersebut. Angka tersebut tentu lebih kecil jika dibandingkan dengan Indonesia yaitu sejumlah 0.2% dari total penduduknya yang menggunakan opioids. Berasumsikan ceteris paribus, kita dapat melihat adanya korelasi negatif antara hukuman mati dan banyaknya pengguna narkoba. Jika kita berbicara masalah pelaksanaan hukuman mati bagi pengedar narkoba, ada peluang menurunnya jumlah pengedar dan pengguna narkoba setelah diterapkannya hukuman ini. Pertanyaan sebelumnya yang belum terjawab adalah bagaimanakah Islam menyikapi hal ini?
Dari sudut pandang Islam, narkoba merupakan senyawa yang memang tidak dijelaskan secara langsung dalam Al-Quran maupun Hadits. Pada kenyataannya, narkoba memberikan dampak kerusakan baik secara fisik maupun psikologis. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 195 “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. Sudah jelaslah bahwa narkoba sebagai alat perusak dapat dikategorikan sebagai barang haram. Mengkonsumsi narkoba merupakan sebuah kemaksiatan dan menjual narkoba berarti tolong-menolong dalam kemaksiatan. Narkoba juga secara nyata membuat para penggunanya kehilangan kesadaran dan memberikan mudharat yang lebih banyak di banding manfaatnya. Sifat ini menyerupai sifat khamr (segala sesuatu yang memabukkan) yang telah diharamkan dalam Islam.
Majelis Kibar Ulama (Kumpulan Ulama Besar Arab Saudi) telah mengkaji perkara ini dan mendiskusikannya dari berbagai macam sudut pandang pada beberapa kali pertemuan. Setelah diskusi yang panjang tersebut, Majelis Kibar Ulama menetapkan:
Pertama: Bagi penyelundup/bandar, hukumannya adalah dibunuh karena perbuatannya menjadi penyelundup/bandar pengedaran narkoba, menyebarkan obat terlarang ke dalam negara, menyebabkan kerusakan yang besar, tidak hanya bagi bandarnya, namun menjadi sebab masalah yang serius bagi seluruh umat. Termasuk bandar narkoba adalah orang yang mendatangkan obat terlarang ini dari luar, kemudian ia distribusikan ke penjual secara langsung.
Kedua: Untuk pengedar obat terlarang, keputusan Majelis Kibar Ulama untuk pelaku telah diterbitkan pada keputusan No. 85, tertanggal 11 Dzulqa’dah 1401. Disana dinyatakan:
Para ulama menegaskan bahwa hukuman bunuh termasuk bentuk hukuman ta’zir (bentuk hukuman yang belum ditetapkan dalam syariat dan diserahkan kepada pemerintah setempat) yang dibolehkan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Manusia yang kerusakannya tidak bisa dihentikan kecuali dengan dibunuh boleh dihukum mati, sebagaimana hukum bunuh untuk pemberontak, menyimpang dari persatuan kaum muslimin, atau gembong perbuatan bid’ah dalam agama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan untuk membunuh orang yang sengaja berdusta atas nama beliau (dengan membuat Hadits palsu)”
Ibnu Dailami pernah bertanya kepada beliau tentang orang yang tidak mau berhenti dari minum khamr. Beliau menjawab, “Siapa yang tidak mau berhenti dari minum khamr, bunuhlah.” Dalam karya beliau yang lain, Syaikhul Islam mengatakan tentang alasan bolehnya ta’zir dengan membunuh, “Orang yang membuat kerusakan seperti ini seperti orang yang menyerang kita. Jika orang yang menyerang ini (keburukannya) tidak bisa dihindarkan kecuali dengan dibunuh maka dia dibunuh.” Rangkaian penjelasan di awal tulisan ini telah menunjukkan bahwa bentuk dan pelaksanaan hukuman yang dijalankan selama ini belum secara optimal mengurangi keburukan yang diciptakan narkoba.
Ketiga: Majelis Kibar Ulama berpendapat bahwa sebelum menjatuhkan dua hukuman di atas, hendaknya dilakukan proses pengadilan yang sempurna, untuk membuktikan kebenaran kasus, sesuai dengan proses mahkamah syar’iyah dan badan kriminal, sebagai bentuk kehati-hatian dalam memberikan hukuman mati kepada seseorang.
Keempat: Hukuman ini hendaknya diumumkan melalui media massa, sebelum diterapkan, sebagai bentuk peringatan bagi masyarakat
Demikian juga fatwa ulama besar yaitu Syaikh Prof. ‘Abdullah Al Jibrin rahimahullah, beliau berkata mengenai hal ini:
Hukuman bagi mereka di dunia adalah hukuman yang bisa membuat mereka jera. Untuk peminum khamr syariat Islam menetapkan hukuman cambuk sebanyak 40 kali. Tatkala banyak orang tidak lagi merasa kapok jika hanya dicambuk sebanyak itu, Umar bin Al-Khatthab memberikan tambahan hukuman sehingga menjadi 80 kali cambukan. Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan, “Jika ada orang yang minum khamr maka cambuklah. Jika dia tertangkap untuk kedua kalinya maka cambuklah. Jika tertangkap untuk ketiga kalinya maka cambuklah. Jika dia tertangkap untuk keempat kalinya dalam kasus minum khamar maka silahkan dihukum mati”. Hadits ini sahih dan memiliki beberapa sanad.
Sedangkan untuk hukuman di akherat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa saja yang meminum khamr di dunia maka dia tidak akan meminumnya di akherat”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberitakan bahwa siapa saja yang berulang kali meminum khamar maka Allah mewajibkan dirinya sendiri untuk memberi minuman berupa thinatul khabal untuk orang tersebut. Thinatul khabal adalah nanah penduduk neraka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Tidaklah beriman orang yang minum khamr pada saat dia minum khamr”.
Tidaklah diragukan bahwa narkoba dan rokok itu lebih berbahaya dibandingkan dengan khamr. Oleh karena itu, hukuman terkait dengan narkoba itu jauh lebih keras. Dosa yang terkait dengannya juga lebih besar. Para ulama telah mengatakan bahwa pengedar narkoba itu berhak mendapatkan hukuman mati. Dengan pertimbangan bahwa orang tersebut termasuk orang yang merusak di muka bumi. Sehingga bahaya yang mengancam agama dari orang tersebut lebih gawat dibandingkan bahaya racun bagi badan.
Berdasarkan pemaparan di atas, muncul satu pertanyaan penutup dari pembahasan panjang ini: “Apakah hukum tersebut cocok dengan Indonesia yang memiliki kondisi berbeda dengan Arab Saudi, baik psikologis, sosiologis, ekonomi, dan perbedaan pada bidang-bidang lain?”
Allah telah menjadikan Islam sebagai agama yang sempurna, tidak terbatas pada dimensi waktu dan tempat. Dengan izin Allah, hukum-hukum Allah pasti cocok untuk diterapkan di bumi milik Allah. Hal yang harus diperhatikan adalah waktu dalam menerapkan hukuman tersebut di Indonesia. Penetapan hukuman mati sesuai syari’at Islam tidaklah mudah mengingat negara Indonesia memiliki heterogenitas latar belakang suku, agama, dan budaya. Penegakan hukum yang bermasalah menyebabkan hukuman apapun yang diterapkan -termasuk hukuman mati- tetap menyisakan masalah. Tugas utama yang harus dicermati adalah proses penegakan hukum, bukan hukum itu sendiri. Proses penegakan hukum perlu mendapatkan pengawasan agar hukuman tersebut tidak menimbulkan kegoncangan dalam Negara.
Semoga hukuman mati yang ditetapkan pemerintah Indonesia menjadi pintu gerbang bagi penegakkan hukum, khususnya hukum Allah secara menyeluruh di Indonesia.
sumber:http://fsi-febui.com/hukuman-mati-pengedar-narkoba-dalam-pandangan-islam/

0 komentar:

Posting Komentar